Sabtu, 17 Maret 2012

Euthanasia Dilihat dari Sudut Pandang Agama Buddha


Euthanasia Dilihat dari Sudut
Pandang Agama Buddha


A. Latar Belakang Masalah

Sering kali kita mendengar dari media cetak maupun elektronik banyaknya orang melakukan bunuh diri. Bunuh diri hampir terjadi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Latar belakang bunuh diri sangat beragam sebabnya, dan sebagian bunuh diri karena putus cinta, gagal ujuan, usaha bangkrut, sakit yang tak kunjung sembuh, tekanan ekonomi, terlilit hutang dan sebagainya. Dari contoh tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa penyebab bunuh diri adalah kegagalan, yaitu gagal mencapai apa yang mereka inginkan.
Cara-cara bunuh diri pun beragam caranya, ada yang gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, suntik mati, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan tentang cara-cara bunuh diri khususnya bunuh diri yang dilakukan dengan bantuan orang lain atau dokter. Praktik bunuh diri semacam ini sering disebut euthanasia. Sebagian orang ada yang berpandangan bahwa kematian lebih baik dari pada hidup menanggung penderitaan dan kesedihan. Euthanasia terjadi biasanya karena pasien yang sakit tidak kunjung sembuh dari penyakinya sedangkan biaya untuk berobat tidak ada.
Dalam dunia kedoteran kata Euthanesia atau kematian yang disengaja tidaklah asing, bahkan praktik semacam ini telah banyak terjadi. Kenyataan yang ada Euthanesia telah sering terjadi didunia kedokteran, hal ini terbukti bahwa dilaporkan oleh The Medical Journal Of  Australia bahwa hasil survai rahasia terhapat 30.000 dokter Australia, telah terjadi 37.000 kematian akibat euthanesia. (Jo, 2000 : 191). Praktik euthanesia sebenarnya tidak lain dengan tindakan membunuh. Sesusungguhnya manusia tidak berhak mengakhiri kehidupan dirinya dan orang lain. Dari latar belakang tersebut penulis akan melihat secara ilmiah bagamana euthanasia dilihat dari sudut pandang agama buddha.
B. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu yaitu terdiri dari dua kata: “Eu” yang berarti baik, dan “Thanatos” yang berarti mati. (Derek, Aan 1986 : 3). Jadi maksud mati disini yaitu kematian secara baik. “Orang romawi tidak menunggu sampai mereka sakit, setiap saat mereka dapat mengambil keputusan untuk mati, sekali pun dalam masa puncak, sehingga mereka hanya akan memiliki kenangan yang indah tentang kehidupan”. (Jo, 2000 : 192).
Berbagai alasan kemanusiaan untuk melakukan tindakan euthanasia akhirnya sebagian negara barat ada yang mengesahkan/menglegalkan tindakan euthanasia tersebut. Di Indonesia sendiri euthanasia tidak dibenarkan, baik secara hukum maupun secara agama. Dokter yang melakukan euthanasia dapat dikenakan tuduhan direncanakan. Sedangkan pembunuhan yang direncanakan dapat dikenakan hukuman pidana pembunuhan yang diatur dalam hukum Pidana pasal 340 yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua  tahun”. (Andi Hamzah, 2004 : 134)

Dalam agam buddha terdapat tiga jenis nafsu keinginan (tanha) yaitu, keinginan untuk memuaskan nafsu inra (kama tanha), keinginan untuk hidup terus (bhava tanha) dan keinginan untuk mengakhiri hidup (vibhava tanha). Bunih diri adalah salah satu dari nafsu keinginan (tanha), yaitu vibhava tanha. Keinginan ini muncul karena ia melihat bahwa kehidupan ini dengan pandangan pesimis artinya semua yang dijalani membuatnya kecewa dan tidak pernah memuaskan, hingga akhirnya ia memiliki pandangan bahwa hidup semua masalah dapat diselesaikan dengan kematian. Dalam dhamma dijelaskan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan, namun kematian adalah bentuk dari penderitaan. Dengan demikian bahwa menyelesaikan masalah dengan bunuh diri adalah suatu indakan yang salah.
Euthanasia adalah “tindakan dokter melepas pasien atau mengangkat tangan sehubungan ketidakmampuannya menyembuhkan jenis penyakit yang diderita pasien”.(Buddha Dhamma Kontekstual, 2000). Tindakan semacam ini semakin banyak dilakukan dengan seizin pasien atau keluarga pasien. Tindakan euthanasia banyak dilakukan karena penyakit yang diderita pasien tidak mungkin lagi untuk disembuhkan dan keterbatasan biaya yang dimiliki keluarga adalah hal yang melatar belakangi tindakan euthanasia. Namun seperti yang terjadi pada pasien










C. Pandangan Agama Buddha mengenai Euthanasia
Sesuai dengan yang dijelaskan di atas bahwa euthanasia juga tindakan yang dilakukan dengan permintaan pasien. Dengan demikian tindakan semacam ini juga disebut sebagai bunuh diri. Dalam Engglish Pali Dictionary, kata bunuh diri diartikan sebagai Attavada, attagatha…(Buddhadatta, 1995 : 515). Dalam ajaran buddha dijelaskan bahwa kita hendaknya dapat melaksanakan sila dengan baik, karena melaksanakan sila dapar terlahir di alam bahagia. Sang Buddha menjelaskan bahwa:
“.....Bagi orang yang melaksanakan sila (kebajikan moral) akan mendapat pahala dan kekayaan akan bertambah besar. Orang yang rajin mengerjakan apa yang harus dikerjakan, berkelakuan baik dan memiliki keyakinan yang kuat, tidak berbuat hal-hal yang memalukan dalam masyaraka, apakah dia dari golongan kesatrya, para Brahmana, perumah tangga atau pun pertapa. Jika mereka meninggal, mereka akan meninggal dengan tenang dan pada saat  kehancuran tubuh mereka setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam keadaan bahagia di alam surga (suggati)”. (Tim Penterjemah 1979 : 16-17).

Umat awam melaksanakan sila jumlahnya lima sila, isi sila yang pertama adalah menghindari membunuh makhluk hidup. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan apabila memenuhi liam syarat yaitu:
1. ada makhluk hidup lain (pamo)
2. mengetahi bahwa makhluk itu hidup (panasannita)
3. berniat untuk membunuh (vadhakacittam)
4. melakukan usaha untuk membunuh (upakamo)
5. makhluk iti mati melalui usahanya (tena maranam). (Teja S.M. Rashid, 1997 : 31-32).

      Euthanasia bila dilihat dari sudut pandang agama buddha berarti termasuk dalam pembunuhan manusia, walaupun pasien sendiri yang menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia adalah pembunuhan yang dilakukan dengan kehendak (cethana). Euthanasia juga termasuk dalam tindakan bunuh diri, Sang Buddha menetapkan tindakan membunuh manusia dan bunuh diri adalah termasik pelanggaran parajika. dalam Vinaya pitaka III, dijelaskan bahwa:
“Bhikkhu siapapun yang dengan sengaja membunuh seorang manusia atau menganjurkan seseorang untuk bunuh diri, termasuk orang yang terkalahkan dan tidak lagi dalam pesamuan (dipecat dari sangha)”. (Horner, 1970 ).

Sang Buddha menetapkan peraturan tersebut berkenaan dengan sejumlah bhikkhu yang merasa cemas, menderita, muak, dan jijik dengan badan jasmani. Kejemuan dan kebosanan inilah yang menyebabkan para bhikkhu melakukan bunuh diri atau minta kepada orang lain untuk membunuh. akibat dari melakukan pembunuhan akan terlahir dialam menderita dan apabila terlahir sebagai manusia maka akan terlahir dengan usia yang tidak panjang. Dalam Majjhima Nikaya, dijelaskan bahwa:
“seorang wanita atau pria yang membunuh mekhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada smakhluk hidup, akibat perbuatan yang dilakukannya itu dapat membawanya ke alam-alam rndah atau neraka yang penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Apabila terlahir kembali sebagai manusia, di mana saja ia akan bertumimbal lahir, maka umurnya tidaklah akan panjang.”. (Majjhima Nikaya 135).

Pandangan umum ada yang mengatakan bahwa kematian seorang bayi adalah kematian yang suci, karena bayi tersebut belum melakukan perbuatan jahat. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha yang mengenal adanya hukum kelahiran kembali, artinya manusia hidup tidak hanya sekarang ini. Dengan demikian bahwa kematian seorang bayi berarti buah kamma dari kehidupan yang lampau, sehingga bayi tersebut memiliki umur pendek. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa umur pendek adalah akibat dari melakuakn pembunuhan terhadap makhluk hidup.  Jan Sanjivaputta menjelaskan, terdapat enam cara atau usaha melakukan pembunuhan yaitu:
1.      Pembunuhan yang dilakukan oleh diri sendiri
2.      dengan menyuruh orang lain
3.      dengan mengunakan senjata
4.      dengan membuat perangkap yang permanen
5.      dengan mengunakan ilmu perdukunan
6.      dengan mengunakan kemampuan batin. (Manggala, 2002)

Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, suatau tindakan dapat dikatakan sebagai pembunuhan bukan hanya yang dilakukan oleh diri sendiri tetapi juga pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara tersebut di atas.
Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan cinta kasih (metta), yaitu cinta kasih yang universal kepada semua makhluk termasuk pada diri sendiri.  Euthanasia adalah tindakan yang salah yaitu merugikan diri sendiri dan orang lain. bagaimana kita dapat memancarkan cinta kasih kita kepada semua makhluk jika kita memiliki rasa cinta kepada diri sendiri. Sang Buddha memiliki cinta kasih yang universal, dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, dijelaskan bahwa “Tidak membunuh makhluk hidup, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh, ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karana cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk”. (Tim Penterjemah, 1992 : 4).  
Sang Buddha sangat mencintai kehidupan, beliau telah menghindari untuk tidak membunuh makhluk. Demikian kita hendaknya meneladani sifat-sifat Sang Buddha untuk tidak melakukan tidakan membunuh makhluk. Demikian juga kita hendaknya untuk tidak melakukan membunuh diri sendiri. “Kehidupan adalalah tidak pasti, tetapi kematian adalah pasti”. (Lanny Angawati, 1999 : 144). Kematian adalah suatu proses yang pasti akan datang pada setiap makhlukn tanpa kita memintanya, jadi  salah jika kita mempercepat datangnya kematian dengan jalan bunuh diri. Sebab-sebab kematian dalam agama Buddha ada empat macam yaitu:
  1. Ayukkhaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya usia,
  2. Kammakaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma
  3. Ubhayakkaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma dan usia,
  4. Upacchedaka-marana, kematian yang disebabkan oleh gangguan yang lain, sedangkan usia dan kamma belum habis. (Panjika, 1994 : 141)

Dari penjelasan di atas berarti Euthanasia atau tidnakan bunuh diri, termasuk dalam kriteria yang keempat yaitu Upacchedaka-marana, artinya kematian suatu makhluk karena gangguan lain bukan karena habisnya usia dan kamma.
D. Akibat Euthanasia (bunuh diri)
Untuk pelaku bunih diri dapat terbebas dari jelaratan hukum karena mereka meninggal, namun bagi mereka yang membantu melakukan tindakan euthanasia dapat dijerat oleh hukum. Manusia yang melakukan bunuh diri dapat terbebas dari jeratan hukum tetapi, mereka tidak akan terbebas dari kamma yang telah dilakukannya. Tidak ada makhluk apapun yang dapat menghindari akibat dari perbuatan yang mereka lakukan. Dalam Dhammapada dijelasklan bahwa: “Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunug, atau di manapun ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya”. (Tim Penterjemah, 2002 : 54).

2 komentar: